Mencintaimu.
Hidup berkata, “Petiklah matahari dan sematkan dalam jiwa.”
Seorang dara bunga-bunga menjelma indah.
Bentukmu.
Rindu-rindu tak berdasar, buta dan membingungkan.
Seorang gadis, yang kucinta, ia milik keagungan. Dipingit pada puisi kerinduan seorang lelaki di pingiran kejenuhan kalbunya.
Jelas selalu gelisah, menunggumu, tidurmu bernafas menyatu dalam angkasa yang penuh dengan debu resahku.
Gadis yang kutemukan di jalanku. Kaukah teramat halus garis hasrat ini, dan lukisan kata-kata kemauan samar membentuk. Jelangmu pagi kembang di pagar.
Sendiri kelopak katakan ia ingin mengembang sampai sejauh mungkin, sampai di batas cakrawala.
Tanganmu yang tumbuh dalam lengkungnya waktu selalu melambaikan angin dingin di bilik jantungku membuat hati ini seakan tertinggal.
Semburat emas menerpa wajahmu. Petang yang singkirkan terik, tegakmu di depan mataku, dalam pucatnya jiwa mendamba. Di lereng bebukitan, tangan-tangan kita iringi sang surya, bawakan sekerat jenuhnya gelisah, hari-hari yang lelah. Satu kata, seribu kata, apa pun yang kau simpan dalam kalbu, katakan wahai belahan sukma. Tiada nafasmu akan tinggal walau mentari terus tenggelam. Engkau jiwa bersinar di pintu dunia yang ingin menggelap.
Kataku padanya, “Apa itu cinta pada senja.?”
Gadisku berkata “Cinta adalah batas antara terang dan gelap. Cerahnya terang adalah dambaku, kudapat melukis dinding-dinding gedung yang terus dibangun yang di baliknya manusia menyelesaikan pekerjaan. Jiwaku akan hidup untuk mekar pada halaman rumah para penghuni bumi, dan dipetik oleh cinta yang datang di setiap sisi. Lalu terang perlahan hilang beriring kegelapan yang datang. Pepohonan menyepi, namun kulihat penduduk kota di bawah bebukitan masih dapat mendekap impian siang untuk dibawa ke tidur malam. Dan aku masih dapat melihat wajahmu dalam gugusan bintang malam. Bagiku cinta di antara gelap dan terang, di antara harapan dan mimpi. Aku selalu menunggunya tak perduli hari penuh cahaya atau pun malam sangat kelam.”
Lalu gadisku betanya, “Sedang bagimu apa itu cinta dalam senja ? “
Jawabku, “Cinta berada antara keraguan dan keyakinan. Dapatkah hari pertahankan terang bila pintu malam siap merampas. Dan yakinkah aku mentari akan datang lagi bila bumi sudah menenggelamkannya di balik ufuk kalbu. Dan adakah dapat memilikimu jika Kemahaperkasaan tak memberikanmu untukku selamanya. Dalam senja hatiku berdebar, tebarkan jiwa ke penjuru angkasa. Mencumbu keindahan pergantian waktu yang berlalu. Seindah harapan yang bersembunyi di antara keraguan dan keyakinan, semanis wajahmu yang menerpa perjalanan sang matahari.”
Menemukanmu.
Waktu musim tetap berubah. Orang-orang di tepi pertumbuhan kotaku, dan kesunyian perkampungan kalbuku. Gadis dalam langkah membaktikan hadirmu menjelang esok. Seperti kemarin engkau katakan dalam mimpi, “Aku datang untuk menyatu dalam pelukmu, menjadi bayang pagi, di sana kita kan tumbuhkan pepohonan yang naungi keterikan bumi, membentuk jalan-jalan dalam kesempitan orang-orang untuk pergi ke arah hidupnya.
Kemudian aku kan lahirkan jiwa-jiwa perkasa untuk membangun harapan-harapan.
Aku datang untukmu, bukankah telah kau panggil, di syair-syair sepimu yang haus, nyanyianmu memintaku, atas keinginan membangun hari depan. Sedang Tuhanmu yang bersembunyi memberikan jalan kehadiranku.“
Mengingkarimu.
Hujan deras membelah tanah lalu mengalir ke kedalaman tanpa batas.
Gemuruh membisikkan kepergian. Gadis pada keindahan matamu. Menyambar pada kekakuan batu-batu.
Sayup-sayup nafasku membenci, merindukanmu seperti ini dan keharusan membagi rasa.
Sekelit terbisik ingin berlari meninggalkan cakrawalamu. Seperti kataku di lembaran daun-daun yang gugur, telah kusebut untukmu, “Melihatmu, dan kau datang untuk cahaya kerinduan, selalukah aku akan terjaga di sampingmu dan sertai fajar pagi, selalukah kakiku merintis semak untuk membuka belukar kesesatan hidup, dan dunia yang menjerat mimpi-mimpi kita.
Terhapuskah rasa haus dan kering, di daratan jiwamu atau di pekatnya harapanku. Gadis engkau sungguh indah, takutku melukis seringnya matahari ingin membawamu.
Dan sepertinya dunia tempat hati kita tetap merana. Lihatlah, benarkah aku selalu menyanyikan bunga-bunga yang tumbuh?”
Pada lamanya harapan menjadi dekat.
Hidup dan mencintai di butiran jiwa yang terbang berhamburan.
Kadang titiknya berpijar di atas lembah hati manusia, yang telah lama menumpuk kehampaan dan ketidakpastian akan hari mendatang.
Jiwa saling berlomba mencari perhentian.
Siapakah sang penunggu tempat. Ia adalah pemilik cinta yang tak berbatas.
Butiran jiwaku, juga satu kefanaan yang naif, mengejar bentuk kepastian dalam kemegahan segala warna yang ada. Yang sewaktu engkau hadir dan membisikkan semua yang mengatakan, ambillah dunia untuk tempat meniti, nyatalah benar engkau kurasa, sebagai bagian dari diri yang resah untuk tegak berdiri.
Sejauh harapanmu, adalah sedekat kemauanku menjadi tonggak, di pelataran jutaan kerinduan manusia, yang sejak dahulu dan sampai kapan pun mencari dirinya.
Waktu yang melantunkan bait-bait gelap, menyimpan semua pertanyaan, akan meraih apa?
Inginkah jiwaku untuk meraihmu, kekasih, adakah engkau benar-benar tiba, dan jalan-jalanku menjadi benderang lalu akhir akan terlihat. Atau tempatmu yang indah akan terjaga seterusnya.
Sedang kehadiranmu juga adalah butiran yang terbang ke senyap-senyap janji. Menggandeng bumi dalam jemarimu yang memegang sumbunya dalam nafasmu, hanyalah kehanyutan kita ke puncak kerinduan tak bertepi.
Tautkanlah nafasmu gadis, pada sempitnya rongga udara zaman, seluruh waktu adalah kerinduanmu, bukan kerinduanmu untukku, namun suara jiwamu yang menerjang cakrawala.
Di sana banyak pinta dan kesedihan. Butir ratapan manusia yang berserakan.
Sempatkah bersamamu kekasih, bila waktu telah habis untuk kita setarakan langkah, dengan putaran waktu kepada janji langit. Habis cintamu diterpa saat-saat.
Mencercamu, kekasih.
Benci atas nafas sendiri yang menyatu dengan nafasmu. Syahdu wajahmu tak pantas sendiri.
Dan lautan pun pasti menanti, untuk seberangkan harapanmu ke pulau-pulau terbaik. Seperti kata-kata saktiku yang sulit.
Kutanya padamu, “ Hai sang dara, katakan apakah artiku dalam kehidupanmu?”
Jawabnya, “Engkau adalah keinginan, dimana tanganku bertaut untuk kokoh membangun perlindungan, kuingin kau menidurkanku dalam lembaran kedamaian, sambunglah nyanyianku untuk pecahkan sepi, dan hari takkan pernah bersedih, tetaplah di sampingku walau waktu telah berhenti.
Datanglah, tak ada jalan untuk meninggalkan keindahan. Engkau adalah dimana aku dapat pasrah tanpa merasa susah.“
Seperti belahan awan yang membentuk, bayanganmu yang menitis, menusuk keinginan mengiring gumpalanmu ke segala arah.
Gadisku, katakan semua hasrat pada sendirinya batang-batang lapuk, agar ia tumbuh kembali menjadi kakimu untuk menerjang, dan tulislah nyanyianmu di padang gersang agar tumbuhlah rerumputan, dan gandenglah angin untuk menghembuskan harap di rumah-rumah nasib manusia.
Kemarin adalah semua kalbumu terbentuk dan engkau dalam keindahan, kini jiwamu menuntut apakah akan masih pada keindahan?
Tidakkah kau melihat kematian mimpi dan kisah yang terbakar.
Berjalanlah sendiri, di antara kesunyian hati. Ada kesedihan yang tak terjawab, pasti melanda kedatanganmu pada keberadaannya. Sambil kau lihat aku, dalam sudut kecil, terbit dalam dukanya ladang kemarau, siramilah dengan hadirmu.
Kekasihku.
Merindukanmu adalah cinta. Adalah kemauan siapa pun. Tanah negeri kita berkata, “Hiduplah untuk kasihmu, dengan do’a keagungan langit, memberikan semua harapan manusia untuk benar-benar bahagia, tiada ketakutan dan kematian.”
Senja untuk berhenti, dan kita yang duduk di lereng bebukitan telah menjadi satu dimensi. Panorama kesempatan menahan laju sang waktu. Itulah hidup kita. Rindu kita tiada di akhir penyatuan, kecuali senja ini tak pernah berganti malam yang binasa ditelan dalamnya gelap.
Namun mengerti pertemuan jiwa kita, masih mencipta harapan dunia ini terus ada. Melahap kehilangan menyatunya kalbu kita, tentu juga kebinasaan cinta semesta.
Seperti suara dari kejauhan engkau berkata, “Janganlah engkau tinggalkan daku, dalam kesendirian hidup dan pulangnya aku kepada takdir dengan seorang diri.”
Desirkan satu keteramatan kasih.
Kataku, “Gadisku, tiada kebersamaan dalam dunia, jatuhkanlah dirimu dalam gelombang jinggaku, menulismu untuk esok, dimana ketakutan benar-benar hilang, dan nafasmu telah terbit dari jiwaku.
Saat yang mewarnai wajah para manusia dalam senyum dan cahaya.
Esok sambutlah nyanyianku di pagi hari, saat hidup melangkah berisi pintaku sepanjang waktu. Dekatlah di sisiku selama kerinduanmu adalah keinginan dalam kebenaran, yang memastikan hidupmu datang hanya untuk akhir yang sejati.“
Mengasihimu.
Mencintai gadisku waktu terasa hidup. Mimpi indahnya menerjang kesepian lelaki yang bergerak untuk berbakti.
Janji benarnya cakawala.
Seorang dara, semua mata akan melihat rembulannya, haruskah hadir dan pergi tanpa arti.
Kerinduan dan cinta, atau bahkan ingin memiliki, tetaplah bernafas penuhi angkasa yang kokoh.
Aku ada di sana, sampai kapanpun.
Walau penyatuan dan terpisah tetap terjadi.
Rinduku adalah deru gelombang di jauhnya hidup, yang penuh dengan bumi manusia, takut dan harap, do’anya masih melanda.
Ada gadisku, dalam indahnya tercipta Sang Perkasa. Mendekat hadirnya, meski menebar gelisah. Temaniku. Mencipta rinduku sempurna.
by : masril h. rambe